easylifehub.id – Dalam persidangan sengit di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (15/8/2023), terdakwa penganiayaan terhadap David Ozora, Mario Dandy Satriyo, mendapatkan tuntutan yang mengejutkan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). JPU menuntut Mario dengan hukuman penjara selama 12 tahun dan pembayaran restitusi sebesar Rp120 miliar. Bersama dengan rekannya, Shane Lukas dan AG, mereka juga diharuskan membayar restitusi tersebut selama 7 tahun penjara.
Restitusi sendiri merupakan bentuk kompensasi atau ganti rugi yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Dalam kasus ini, Mario dan kawan-kawan harus memberikan restitusi kepada David sebagai korban penganiayaan yang dilakukan oleh Rafael Alun Trisambodo, anak mantan pegawai Ditjen Pajak.
Namun, tuntutan restitusi sebesar Rp120 miliar ini mengejutkan bagi Mario Dandy. Dalam pleidoinya, dia mengaku terkejut dengan jumlah yang begitu besar tersebut. Mario menyatakan bahwa dia bersedia membayar restitusi tersebut dengan itikad baik, sesuai kemampuan dan kondisinya. Namun, dia mengaku belum memiliki penghasilan dan tidak memiliki harta saat ini karena sedang menjalani proses hukum akibat pelanggaran pidana yang dilakukannya.
Hal ini membuat Mario menyatakan bahwa dirinya tidak mampu membayar restitusi sebesar Rp120 miliar tersebut kepada David. Namun, apa konsekuensinya jika dia benar-benar tidak mampu membayar?
Terkait dengan pembayaran restitusi, aturannya sendiri tercantum dalam beberapa peraturan di Indonesia. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Restitusi sendiri merupakan kompensasi yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana.
Selain itu, PP Nomor 43 Tahun 2017 juga mengatur tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Dalam aturan ini dijelaskan bahwa restitusi adalah pembayaran ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan terkait kerugian materiil dan/atau immateriil yang dialami oleh korban atau ahli warisnya.
Meskipun terdapat aturan yang mengatur restitusi, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, mengatakan bahwa belum ada aturan yang spesifik tentang restitusi jika korban adalah anak. Pengaturan mengenai restitusi dalam Undang-Undang (UU) sendiri belum cukup tegas. UU hanya menyebutkan bahwa korban tindak pidana berhak mendapatkan restitusi, namun tidak dijelaskan tentang konsekuensi jika tidak dilaksanakan.
Bagaimana jika Mario Dandy tidak mampu membayar restitusi sebesar Rp120 miliar tersebut? Menurut ahli pidana dari Universitas Binus, Ahmad Sofian, uang restitusi seharusnya tidak diganti dengan pidana kurungan, melainkan dengan perampasan aset terdakwa. Dia menyatakan hal tersebut saat memberikan keterangan ahli dalam sidang. Sofian menambahkan bahwa dalam beberapa kasus, seperti kasus pemerkosaan santriwati dengan terdakwa Herry Wirawan, jaksa mengusulkan perampasan aset jika restitusi tidak dibayar.
Konskuensi Jika Tak Bayar Restitusi
Namun, Sofian mengatakan bahwa tak ada dasar hukum yang mengatur secara spesifik tentang restitusi yang diganti dengan pidana kurungan atau perampasan aset. Dalam banyak kasus, restitusi diganti dengan pidana kurungan semata untuk memudahkan eksekusi. Restitusi seharusnya berupa ganti rugi yang dialami oleh korban, baik itu kerugian mental, kesehatan, atau keuangan. Oleh karena itu, restitusi seharusnya berbentuk uang, bukan pidana kurungan.
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Chairul Huda. Ia menyebutkan bahwa satu-satunya cara yang mungkin untuk menggantikan pembayaran restitusi jika Mario Dandy tidak mampu membayar adalah dengan perampasan aset. Chairul menegaskan bahwa perampasan aset menjadi alternatif yang masuk akal karena belum ada pengaturan yang eksplisit dalam undang-undang terkait masalah ini.
Namun, Chairul juga menekankan bahwa penggantian dengan pidana penjara tidak dimungkinkan karena hal tersebut harus diatur oleh undang-undang. Pencabutan hak-hak tertentu, seperti remisi, menjadi salah satu solusi yang bisa dipertimbangkan oleh hakim sebagai pidana tambahan jika terdakwa tidak membayar restitusi.
Edwin Partogi Pasaribu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), juga menyebutkan bahwa hakim dapat mengakomodir pencabutan hak tertentu, sebagaimana diatur dalam KUHP. Hal tersebut dapat dilakukan untuk memaksa terdakwa membayar restitusi, seperti dengan mencabut hak remisi. Edwin menegaskan perlunya perbaikan aturan terkait dengan pembayaran restitusi dan konsekuensinya jika tidak dilaksanakan. Restitusi harus terhubung dengan korban tindak pidana, dan ada upaya paksa untuk memastikan pembayaran restitusi dilakukan.
Selain itu, Edwin juga berpendapat bahwa putusan hakim harus mengizinkan sita lelang aset pelaku jika restitusi tidak dibayar. Pencabutan hak-hak tertentu, terutama hak narapidana, menjadi sanksi yang maksimal untuk memaksa pelaku membayar restitusi kepada korban.
Kesimpulannya, aturan mengenai pembayaran restitusi dan konsekuensinya jika tidak dilaksanakan perlu diperjelas. Restitusi merupakan bentuk kompensasi yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana. Jika terdakwa tidak mampu membayar restitusi, perampasan aset atau pencabutan hak tertentu bisa menjadi alternatif untuk memastikan pembayaran ganti rugi tersebut dilakukan. Namun bagi anak sebagai korban, belum ada pengaturan yang spesifik dalam undang-undang terkait dengan restitusi. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memperbaiki aturan yang mengatur restitusi, sehingga hak korban dapat terpenuhi dan keadilan dapat ditegakkan.